Konsep Jangka Benah menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan, salah satunya akademisi. Hal ini terlihat dari kegiatan webinar yang dilaksanakan oleh Universitas Palangka Raya dengan mengangkat tema ‘Peluang dan Tantangan Implementasi Strategi Jangka Benah di Provinsi Kalimantan Tengah’. Webinar ini diinisiasi oleh Universitas Palangka Raya dikarenakan beberapa wilayah Kalimantan Tengah termasuk kedalam keterlanjuran sawit di dalam Kawasan hutan. Kegiatan yang dilakukan pada Kamis, 10 Februari 2022 secara daring melalui media zoom meetings dan menyita perhatian publik, ini dibuktikan dengan hadirnya lebih dari 250 peserta dalam acara webinar ini.
Webinar ini dimulai dengan sambutan oleh Dr. Ir. Sosilawaty, M.P. (Dekan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya). Sebelum pemaparan materi dari moderator, Dr. Alue Dohong (Wakil Menteri LHK) yang diwakili oleh Dr. Tasdiyanto Rohadi (Staf Ahli Menteri LHK Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam) menjadi keynote speaker untuk memberikan gambaran jangka benah menurut pandangan pemangku kebijakan. Webinar yang dipandu oleh Dr. Wahyu Supriyati berjalan selama 180 menit dengan pemaparan narasumber Rivani Noor (Tenaga Ahli Menteri Bidang Konflik Agraria dan Mediasi), Dr. Yanarita (Anggota tim ahli SJB), Benhard Rizal Setyawan, S.Hut (Sekretaris GAPKI Kalteng), Dadang Riansyah (Pokja PS Kalimantan Tengah).
Melalui paparannya, Rivani menyampaikan penyelesaian keterlanjuran kebun sawit monokultur didalam Kawasan hutan pasca UU Cipta Kerja No.11/2020 menggunakan pendekatan ultimum remedium dan restorative justice. Menurutnya, KLHK tidak hanya berfokus pada penyelesaian permasalahan sawit di Kawasan hutan, tetapi juga tambang, pemukiman, dan minyak bumi. Rivani menegaskan bahwa jangka benah bukanlah upaya pengakuan sawit sebagai tanaman kehutanan, tetapi ini merupakan upaya pembenahan, pemulihan, dan pengembalian fungsi ekosistem hutan.
Selanjutnya, Yanarita sebagai tim ahli SJB berpendapat bahwa pemilihan kebun campur untuk penyelesaian keterlanjuran sawit disebabkan aspek adoptability, productivity, dan sustainability. Selain itu, dalam pengelolaan kebun campur diperlukan pendekatan on-farm melalui tindakan silvikultur, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam serta pendekatan off-farm melalui kegiatan pasca panen seperti sarana produksi dan pemasaran.
Benhard sebagai perwakilan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menyatakan bahwa permasalahan kebun sawit didalam Kawasan hutan khususnya di Kalimantan Tengah disebabkan oleh perubahan kebijakan yang berpengaruh pada luasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang terus berkurang. Pengusaha yang membangun kebun sawit di APL merasakan ketidakadilan ketika wilayah tersebut ditunjuk untuk menjadi Kawasan hutan sehingga terjadi keterlanjuran tersebut. Menurutnya, solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu membuat kebijakan satu peta dan satu peraturan yang berlaku secara nasional sehingga tidak ada tumpang tindih antar satu dengan lainnya.
Dalam paparannya, Dadang Riansyah menyampaikan Kerjasama perhutanan sosial dapat dilakukan melalui berbagai model antaralain Kerjasama usaha, Kerjasama multi pihak, dan kemitraan lingkungan. Hingga saat ini, terdapat 108 pendamping perhutanan sosial yang tersebar di wilayah Kalimantan Tengah dengan 69 persetujuan perhutanan sosial bersawit dengan total luas 69.919 ha. Menurut Dadang, rendahnya pengetahuan tentang konsep SJB sawit yang dimiliki oleh kelompok serta pendamping merupakan hambatan dalam implementasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, pemilihan model pola tanam dan jenis yang memiliki pertumbuhan optimal serta memberikan keuntungan secara ekonomi menjadi tantangan yang harus dijawab oleh penggagas konsep ini.