Tropenbos Indonesia mengadakan serial webinar Mengelola yang Tersisa Seri#22 dengan tema ‘Menyelesaikan Sawit di Kawasan Hutan’ secara daring pada Sabtu, 28 Agustus 2021 pukul 14.00 – 16.30 WIB. Acara ini diselenggarakan melalui media Zoom meeting dan disiarkan melalui media Youtube pada channel Tropenbos Indonesia. Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 500 peserta terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, NGO Lokal, Korporasi, Kelompok Tani, dan masyarakat umum. Webinar ini juga dihadiri oleh Drs. Marzuki Usman, M.A. yang merupakan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia ke-7.
Acara webinar ini dipandu oleh Dr. Edi Purwanto (Direktur Tropenbos Indonesia) dengan menghadirkan 3 orang narasumber antaralain Dr. Ir. Bambang Hendroyono, MM (Sekretaris Jenderal KLHK) dengan topik Arah Kebijakan Terkini Percepatan Penyelesaian Kebun Sawit di Kawasan Hutan, Diah Y. Suradiredja (Penasihat Senior SPOS Indonesia – Yayasan KEHATI) dengan topik Strategi Percepatan Penyelesaian Kebun Sawit di Kawasan Hutan, serta Dr. Hero Marhaento (Ketua Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan UGM) dengan topik Strategi Operasional Sistem Jangka Benah di Lapangan).
Dr. Ir. Bambang Hendroyo, MM. menjelaskan permasalahan sawit dalam kawasan hutan terdiri dari perkebunan korporasi, tumpang tindih ha katas tanah/HGU, serta kebun masyarakat. Penyelesaian sawit dalam kawasan hutan berdasarkan PP 23 dan PP 24 Tahun 2021 bahwa penyesailan sawit dalam kawasan hutan 3 tahun sejak diterapkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Pasal 110 A menjelaskan perusahaan yang memiliki izin perkebunan atau sesuai tata ruang pada hutan produksi dilakukan pelepasan sedangkan pada hutan lindung dan hutan konservasi dilakukan lanjutan usaha. Pasal 110 B menjelaskan perusahaan yang tidak memiliki izin perkebunan atau tidak sesuai tata ruang diberikan sanksi administrasi dan menyerahkan kepada negara.
Diah Y. Suradiredja menyampaikan bahwa tumpang tindih izin perkebunan sawit dengan perijinan pemanfaatan hutan dilakukan penyelesaian berupa denda administratif, kerjasama dengan pemegang ijin pemanfaatan hutan, serta 1 daur maksimal 25 tahun. Selain itu, upaya penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan juga dapat dilakukan melalui strategi jangka benah dengan persiapan dukungan SDM dan finansial, institusi pendukung dari desa sampai pusat, dan sistem insentif serta disinsentif. Rekomendasi strategi percepatan penyelesaian antaralain penataan keberadaan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan segera dilaksanakan untuk dapat memberi kepastian bagi masyarakat dan pelaku usaha, penyelesaian perkebunan kelapa sawit masyarakat dalam kawasan hutan memperhatikan aspek sosiologis dan budaya masyarakat, serta dilakukan pendaatan sawit di kawasan hutan.
Sementara itu, Dr. Hero Marhaento menyampaikan bahwa jangka benah yang ingin dicapai yaitu periode yang diperlukan untuk merubah kebun sawit monokultur menjadi menyerupai struktur dan fungsi hutan campur. Kebun campur (Agroforestry) sawit dianggap paling rasional karena peluang diterima masyarakat tinggi (adoptability), meningkatkan resiliensi rumah tangga petani (productivity), peluang legalisasi hak petani dalam skema perhutanan sosial (legality), dan peningkatan struktur dan fungsi ekosistem secara berkelanjutan (sustainability). Menurut pemaparan Dr. Hero Marhaento pilar strategi jangka benah terdiri dari dukungan kebijakan, kelembagaan yang efektir, serta keberhasilan agroforestry sawit.