(0274) 512102 jangkabenah@gmail.com

Syarat dan Penerapan

Apa syarat penerapan jangka benah pada kebun sawit rakyat monokultur?
Terdapat dua persyaratan dalam menerapkan Jangka Benah yakni (a) syarat kawasan dan (b) syarat kelembagaan. Jangka benah diterapkan pada kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi yang “terlanjur” terganggu oleh kebun kelapa sawit rakyat monokultur dan telah dibebani izin PS dalam skema kemitraan kehutanan atau kemintraan konservasi, Hutan Desa (HD) atau Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pasal 177 ayat 1 Permen LHK no 9/2021 mengatur bahwa pemilik kebun rakyat yang berada di kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat mengajukan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam jangka waktu tertentu yang selanjutnya dilakukan penanaman pohon dalam rangka Jangka Benah.

Siapa yang dapat menerapkan jangka benah?
Permen LHK Nomor 9/2021 pasal 178 ayat 6 mengatur bahwa pelaksanaan jangka benah oleh Pemegang Persetujuan Perhutanan Sosial mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 178 ayat 7 lebih lanjut menjelaskan bahwa pembinaan yang dimaksud meliputi (a) bimbingan teknis Jangka Benah; (b) peningkatan kapasitas sumber daya manusia; (c) bantuan penyediaan bibit tanaman kehutanan; dan/atau (d) pengawasan dan pengendalian. Pasal 179 ayat 4 mengatur bahwa dalam melakukan pembinaan, UPT dapat melibatkan (a) organisasi perangkat daerah provinsi bidang kehutanan; (b) KPH; (c) Pokja PPS; dan/atau Pendamping, sesuai dengan kewenangannya.

Kapan jangka benah dapat diterapkan?                                                                                                                                                                                                                      Jangka Benah dapat diterapkan ketika syarat kawasan dan syarat kelembagaan terpenuhi. Namun demikian, agroforestri kelapa sawit sudah dipraktekkan dalam skala terbatas di banyak tempat di Indonesia dan negara tropis lainnya seperti di Malaysia (Ismail, Khasim, & Omar, 2009), Costa Rica (Höbinger, Schindler, Seaman, Wrbka, & Weissenhofer, 2012) dan di Afrika Selatan dan Afrika Barat (Bhagwat, S.A. and Willis, 2008). Di Indonesia, praktek mencampur tanaman perkebunan seperti sawit dengan tanaman kehutanan penghasil kayu, buah maupun getah dikenal dengan nama simpukan di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung Barat, para di Sumatera Barat, dan talun di Sunda. Masing-masing wilayah tersebut memiliki pola kebun campur yang berbeda-beda, namun secara umum sawit menjadi salah satu komponen vegetasi yang dikelola bersama-sama dengan jenis vegetasi lain dalam satu unit lahan yang sama, dimana seluruh vegetasi yang ada di lahan tersebut merupakan sumber pendapatan bagi pemiliknya.

Hasil studi Fakultas Kehutanan UGM menunjukkan bahwa terbatasnya praktek agroforestri kelapa sawit ini disebabkan oleh beberapa faktor (Budiadi et al., 2019):

  • 1.  Petani mempunyai persepsi bahwa mengelola agroforestry kelapa sawit lebih rumit dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit monokultur,
  • 2. Petani mempunyai persepsi bahwa penambahan jenis lain pada kebun kelapa sawit monokultur pada satu bidang lahan yang sama akan menyebabkan turunnya produksi tanda buah segar kelapa sawit,
  • 3. Belum cukupnya informasi dan contoh konret praktek agroforestri kelapa sawit skala kecil dan operasional yang telah memberikan keuntungan finansial lebih baik dibandingkan dengan kebun kelapa sawit monokultur
  • 4. Belum adanya kelembagaan pelaksanaan SJB yang efektif dalam memfasilitasi penerapan Jangka Benah di tingkat tapak
  • 5. Belum tersedianya payung hukum yang jelas bagi penerapan Jangka Benah secara luas.

Pustaka

  • Bhagwat, S.A. and Willis, K. . (2008). Agroforestry as a solution to the oil‐palm debate. Conservation Biology, 22(6), 1368–1369. Retrieved from https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1523-1739.2008.01026.x
    Budiadi, Susanti, A., Marhaento, H., Imron, M. A., Permadi, D. B., & Hermudananto. (2019). Oil palm agroforestry: an alternative to enhance farmers’ livelihood resilience. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci, 336, 12001. https://doi.org/10.1088/1755-1315/336/1/012001
    Höbinger, T., Schindler, S., Seaman, B. S., Wrbka, T., & Weissenhofer, A. (2012). Impact of oil palm plantations on the structure of the agroforestry mosaic of La Gamba, southern Costa Rica: potential implications for biodiversity. Agroforestry Systems, 85(3), 367–381.
    Ismail, S., Khasim, N., & Omar, Z. R. (2009). Double-row avenue system for crop integration with oil palm. MPOB Information Series, (465), 1–4. Retrieved from http://palmoilis.mpob.gov.my/publications/TOT/TT-424.pdf
    Slingerland, M., Khasanah, N., van Noordwijk, M., Susanti, A., & Meilantina, M. (2019). Improving smallholder inclusivity through integrating oil palm with crops. In Exploring inclusive palm oil production (pp. 147–154). Wageningen – The Netherlands: Tropenbos International. Retrieved from http://www.etfrn.org/publications/exploring+inclusive+palm+oil+production