Menindaklanjuti Kick-Off Demonstrasi Plot (demplot) Strategi Jangka Benah (SJB) yang dilaksanakan pada 6 Mei 2025 di Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, Tim Fakultas Kehutanan UGM bersama Yayasan WWF Indonesia kembali melaksanakan kegiatan lanjutan berupa studi kelayakan pada tanggal 30 Juli hingga 2 Agustus 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk menilai kelayakan biofisik lahan dan kondisi sosial ekonomi petani sawit rakyat sebagai bagian dari pengembangan model pengelolaan lahan berkelanjutan berbasis agroforestri. Tim mengunjungi dua koperasi Perhutanan Sosial, yaitu Koperasi Setia Jaya Mandiri dan Koperasi Bungo Pandan, yang telah dibentuk sejak tahun 2018 dan telah memiliki izin Perhutanan Sosial melalui SK Menteri LHK. Sebanyak 17 demplot milik anggota koperasi dikunjungi oleh tim untuk memperoleh informasi biofisik lahan, serta dilakukan wawancara terhadap 17 petani guna menggali data sosial dan ekonomi petani sawit. Informasi dikumpulkan menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan drone yang dimanfaatkan untuk mengamati tutupan lahan pada masing-masing demplot.
Melalui kunjungan lapangan diketahui bahwa luas demplot SJB milik masing-masing petani berada pada kisaran 1 hingga 4 hektar, dengan jumlah tanaman sawit berkisar antara 120 hingga 130 batang per hektar. Jarak tanam yang umum diterapkan adalah 8×9 meter dan 9×9 meter. Bibit sawit yang digunakan sebagian besar belum bersertifikat, karena diperoleh dari pembelian langsung maupun dari cabutan. Hasil pengamatan dari aspek biofisik menunjukkan jenis tanah di Desa Suo-Suo tergolong sebagai tanah podsolik dengan kondisi topografi yang relatif datar hingga landai. Dilihat dari kondisi tutupannya, mayoritas lahan menunjukkan kondisi tutupan tajuk yang rapat.
Dalam kebun sawit petani, telah terdapat beberapa jenis tanaman kehutanan dan multi purpose tree species (MPTS), seperti jengkol, durian, petai, pinang, dan nangka, serta tanaman kayu seperti gaharu, meranti, pulai, kabau, dan trembesu. Ke depan, petani berencana untuk menanam jenis-jenis tambahan dalam implementasi jangka benah yaitu dengan memilih jenis MPTS, seperti durian, mangga, rambutan, nangka, jambu, jengkol, dan kelengkeng sedangkan untuk tanaman berkayu jenis yang dipilih yaitu gaharu, sengon, meranti, bulian, kabau, sungkai, dan jabon. Pemilihan tanaman buah-buahan lebih diprioritaskan karena petani berharap dapat memperoleh hasil dalam jangka pendek. Selain lebih cepat menghasilkan, jenis-jenis yang dipilih oleh para petani harapannya memiliki pasar yang menjanjikan dan relatif mudah dalam perawatannya.
Salah satu komponen studi kelayakan adalah persepsi petani terkait budidaya sawit monokultur yang sudah dilakukan dan konsep agroforestri sawit yang akan dikembangkan. Dalam melakukan kajian feasibility study penerapan SJB, dilakukan pengukuran dari dimensi keuntungan relatif dan kemampuan untuk mempelajari inovasi para petani sawit dalam mengimplementasi SJB. Dimensi keuntungan relatif bagi petani diukur dari 19 pertanyaan yang berkaitan dengan manfaat yang sudah diterima oleh petani dari aktivitas budidaya sawit monokultur dan manfaat yang akan diterima petani ketika mengubah pola tanam sawit monokultur menjadi agroforestri sawit. Sedangkan kemampuan untuk mempelajari inovasi diukur dengan tiga pertanyaan yang berkaitan dengan kemudahan petani dalam melakukan uji coba agroforestri sawit pada kebun masing-masing.
Berdasarkan wawancara terhadap 17 petani sawit di Desa Suo-Suo, didapatkan gambaran umum sebagai berikut; Dari dimensi keuntungan relatif petani, diketahui motivasi ekonomi dalam budidaya sawit sangat kuat. Inovasi agroforestri sawit akan diterima dengan baik ketika manfaat ekonomi dan pengurangan risiko sudah jelas terlihat. Ekspektasi terhadap hasil cepat (baik ekonomi maupun lingkungan) masih rendah karena petani menyadari tantangan dalam perawatan tanaman kayu yang menjadi sisipan dalam kebun kelapa sawit. Hal tersebut dapat menjadi catatan dalam implementasi SJB terkait perlunya pendampingan teknis terhadap petani SJB. Selanjutnya dari dimensi kemampuan untuk mempelajari inovasi, diketahui petani ingin mencoba inovasi terkait agroforestri sawit. Mayoritas petani beranggapan mudah untuk melakukan uji coba agroforestri sawit dan merasa mudah dalam melakukan evaluasi dari uji coba yang akan dilakukan.
Secara keseluruhan, studi kelayakan yang dilakukan menunjukkan bahwa penerimaan petani terhadap budidaya sawit, baik monokultur dan uji coba agroforestri sawit sangat dipengaruhi oleh manfaat ekonomi yang nyata dan pengurangan risiko gagal panen, sementara faktor lingkungan dan hasil jangka panjang tetap diakui oleh petani namun dianggap membutuhkan waktu dan dukungan teknis untuk benar-benar dirasakan.