Ditulis oleh Hero Marhaento (Ketua tim Strategi Jangka Benah, Fakultas Kehutanan UGM)
Februari 2021 menjadi tonggak bagi direkognisinya Strategi Jangka Benah (SJB) dalam kebijakan nasional paska pengesahan Peraturan Pemerintah Nomer 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan PP No.24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan. Tentu saja ini menjadi momen yang cukup membanggakan bagi seluruh tim yang terlibat di program SJB, baik rekan-rekan tim SJB di Fakultas Kehutanan UGM, tim SPOS Indonesia (Yayasan KEHATI), tim JAVLEC, dan semua mitra yang sudah turut menyumbang pemikiran tentang Jangka Benah. Pada kedua PP tersebut, Jangka Benah diakui sebagai salah satu mekanisme penyelesaian ketidaksesuaian/tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain, yang salah satunya oleh perkebunan sawit, baik dari sawit rakyat maupun korporasi. Jadi, menurut kedua PP tersebut, bahwa siapapun (perseorangan maupun korporasi) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja melakukan aktivitas berkebun sawit di kawasan hutan, mereka wajib menerapkan Jangka Benah!
Apa itu Jangka Benah?
Buat para rimbawan, khususnya yang dari padepokan bulaksumur, istilah jangka benah bukan hal yang baru. Jangka benah merupakan salah satu materi dalam kuliah Perencanaan Hutan saat membahas pengaturan hasil di hutan produksi, khususnya pada hutan tanaman Jati di Pulau Jawa yang dikelola oleh Perhutani. Penulis masih ingat sekali ketika mengikuti kuliah almarhum Prof. Hasanu Simon sekitar 20 tahun yang lalu. Saat itu beliau menjelaskan tentang jangka benah, yaitu periode waktu yang diperlukan untuk membenahi kondisi hutan produksi yang “tidak normal” karena target tebangan meleset yang disebabkan oleh berbagai gangguan sehingga tanaman yang berumur muda banyak ditebang untuk memenuhi target produksi. Apabila kondisi ini terjadi terus-menerus, maka kelestarian hasil produksi di masa mendatang akan semakin terancam. Jangka benah adalah periode yang diperlukan untuk “menormalkan” kembali kondisi tegakan hutan produksi tersebut sehingga kelestarian hasil produksi dapat dicapai kembali.
Dengan meminjam landasan filosofis yang sama, konsep jangka benah ini coba diterapkan pada kawasan hutan yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur yang jumlahnya cukup besar. Diperkirakan luasnya mencapai 3,6 juta hektar di seluruh Indonesia, dimana sekitar 700-an ribu hektar diantaranya dikelola oleh petani kecil (smallholder). Pada konsep jangka benah ini, kawasan hutan yang sebelumnya memiliki fungsi dan struktur vegetasi yang “normal”, dianggap menjadi “tidak normal” akibat gangguan yang diterima (ekspansi sawit monokultur). Periode yang dibutuhkan untuk menormalkan struktur dan fungsi ekosistem hutan inilah yang selanjutnya disebut sebagai Jangka Benah.
Strategi Jangka Benah (SJB)
Strategi Jangka Benah yang diterapkan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian “keterlanjuran” pemanfaatan lain di dalam kawasan hutan mempunyai tujuan berbeda dengan jangka benah yang diterapkan dengan tujuan pengaturan kelestarian hasil pada hutan produksi. Dalam konteks penyelesaian “keterlanjuran” pemanfaatan lain di dalam kawasan hutan, SJB dilaksanakan secara bertahap dan progresif melalui 3 pendekatan utama: 1) intervensi silvikultur, 2) penataan kelembagaan, dan 3) rancang bangun kebijakan. Secara garis besar, SJB akan melalui 2 tahap utama. Tahap 1 bertujuan untuk merubah agroekosistem sawit monokultur menjadi agroekosistem kebun campur (agroforestri sawit) dan tahap 2 bertujuan membentuk struktur dan fungsi agroekosistem kebun campur yang kompleks. Akhir tahap pertama dalam SJB yang membentuk agroforestri sawit menjadi pilihan rasional karena: (a) peluang untuk diterima oleh petani sawit konvensional lebih tinggi karena pada kenyataannya banyak petani sawit yang sudah mempraktekkan sawit campur dengan berbagai jenis tanaman lain seperti Sengon, Jengkol, Cengkeh, Jelutung, dan lainnnya di berbagai belahan Indonesia; (b) peluang meningkatkan resiliensi ekonomi petani yang tidak lagi bergantung pada komoditas tunggal (kelapa sawit) yang rentan terhadap fluktuasi harga; (c) peluang legalisasi hak akses pengelolaan kebun campur oleh petani rakyat di dalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial, dan (d) tentu saja dengan terbentuknya agroekosistem kebun campur yang kompleks dapat memulihkan fungsi ekologis ekosistem hutan yang sebelumnya rusak/terganggu.
Perjalanan Jangka Benah
Masuknya konsep Jangka Benah pada kedua PP tersebut sebagai kebijakan nasional tentu tidak ujug-ujug. Konsep ini bermula ketika sekitar 3 tahun yang lalu, pada bulan Mei 2018, penulis bersama dengan Dekan (Dr. Budiadi) dan Wakil Dekan Bidang 3 (Dr. Muh. Ali Imron) membahas tentang persoalan ekspansi kebun sawit di dalam kawasan hutan, yang cenderung “dibiarkan” tanpa ada solusi yang jelas. Dari diskusi kecil tersebut kemudian terbentuk tim di Fakultas Kehutanan UGM yang bertugas untuk membahas dan mencari solusi dari persoalan tersebut. Diskusi semakin intensif dengan dibantu oleh teman-teman dari Javlec khususnya Heri Santoso. Sebagai tindak lanjut, berbagai serial forum diskusi terarah (FGD) dilaksanakan oleh tim Fakultas Kehutanan UGM dengan mengundang berbagai pihak yang terkait dengan persoalan kebun sawit di Kawasan hutan. Antara lain kolega di Fakultas Kehutanan UGM, kolega dari Fakultas Pertanian UGM, INSTIPER, Javlec, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yayasan KEHATI, Auriga, Kementerian LHK, dan mitra kerja lain yang terkait dengan pembahasan topik-topik yang relevan. Dari berbagai FGD tersebut, tim Fakultas Kehutanan UGM kemudian merumuskan satu kertas posisi (position paper) yang rilisnya dilaksanakan saat Dies FKT UGM ke-55 pada bulan Oktober 2018. Istilah Strategi Jangka Benah atau SJB sebagai alternatif solusi persoalan kebun sawit rakyat di kawasan hutan sendiri mulai dikenalkan perdana pada kertas posisi tersebut .
Sejak rilis kertas posisi tersebut, Yayasan KEHATI memberikan perhatian kepada konsep SJB yang ditawarkan oleh Fakultas Kehutanan UGM. Selanjutnya, tim Fakultas Kehutanan UGM (yang kemudian disebut sebagai tim Strategi Jangka Benah atau SJB) bersama dengan perwakilan Javlec dan Yayasan KEHATI, berkunjung ke berbagai tempat di Indonesia. Lokasi yang dikunjungi antara lain Kabupaten Langkat (Sumatera Utara), Kabupaten Tebo (Jambi), Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah) untuk melihat praktik kebun kelapa sawit campur yang dikelola oleh masyarakat secara alami dan mandiri. Hasil kunjungan lapangan inilah yang selanjutnya digunakan sebagai referensi oleh tim SJB Fakultas Kehutanan UGM dalam merumuskan konsep SJB. Konsep ini selanjutnya dituangkan dalam buku “Jangka Benah: Konsep dan Implementasi Penyelesaian Keberadaan Kebun Kelapa Sawit Rakyat Monokultur Dalam Kawasan Hutan” yang diterbitkan pada bulan Juni 2019. Berbekal konsep yang mulai matang tersebut, Fakultas Kehutanan UGM dengan Yayasan KEHATI melalui program SPOS Indonesia (SPOSI) bersepakat untuk menjalin Kerjasama (MoU) untuk implementasi SJB pada 2 lokasi pilot project di Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Tengah. MoU tersebut ditandatangani pada saat Dies Fakultas Kehutanan UGM ke 56 pada bulan Oktober 2019.
Dengan dukungan dari tim SPOSI, jangka benah mulai menancapkan tonggak baru dalam rintisan perjalanan implemantasi SJB di tingkat tapak. Bersama dengan tim SPOSI, kami mendapat kesempatan untuk menyampaikan gagasan mengenai konsep SJB kepada Dirjen PSKL, KLHK. Kesempatan ini merupakan kesempatan yang sangat berharga dan tidak disia-siakan oleh tim. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Dirjen PSKL, Dr. Bambang Supriyanto melakukan kunjungan ke Kalimantan Tengah untuk melihat secara langsung praktek kebun sawit campur oleh masyarakat. Kunjungan lapangan ini sangat penting bagi perkembangan konsep SJB terutama untuk membuktikan dan meyakinkan pihak pemerintah bahwa konsep SJB mempunyai peluang untuk diadopsi oleh masyarakat, khususnya melalui skema Perhutanan Sosial (PS). Pembenahan kelembagaan SJB dan rancang bangun kebijakan untuk mendukung implementasi SJB mulai ditata. Hal ini dilakukan dengan banyak koordinasi dengan para pihak pemangku kebijakan mulai dari Pemerintah Daerah (kabupaten dan provinsi) hingga Pemerintah Pusat (khususnya KLHK dan Kemenko Ekuin).
Dengan dukungan dari Ditjen PSKL, kick off implementasi SJB di 2 lokasi pilot project berhasil dilaksanakan pada 19 Desember 2019. Pada acara kick off yang diselenggarapan di Palangka Raya tersebut, berbagai pihak diundang dan diperkenalkan dengan konsep SJB sebagai alternatif solusi persoalan kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan. Peserta acara selanjutnya diajak berkunjung ke satu lokasi percontohan (demplot) SJB seluas 7,5 Ha di Desa Karang Sari, Kecamatan Parenggean, Kab. Kotawaringin Timur. Pada demplot tersebut, dilakukan pembenahan melalui pengkayaan jenis tanaman dengan berbagai pola tanam terhadap kebun kelapa sawit monokultur yang berada di kawasan hutan. Acara kick off tersebut juga ditandai dengan tercapainya nota kesepahaman (MoU) antara BPDASHL Kahayan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Fakultas Kehutanan UGM, dan Yayasan KEHATI dalam mendukung implementasi SJB di provinsi Kalimantan Tengah.
SJB Sebagai Kebijakan Nasional
Sejak kick off pada tanggal 19 Desember 2019, kegiatan SJB terus bergulir dan membesar. Selama satu tahun kegiatan, demplot-demplot agroforestri sawit telah dibangun di tiga wilayah KPH di dua provinsi terus berkembang. Sampai dengan bulan Maret 2021, luas demplot SJB mencapai luas 170 Ha yang tersebar di beberapa lokasi: 64,5 Ha di Desa Sungai Jernih, Kab Tebo (Jambi) yang masuk pada wilayah KPHP Tebo Timur, 57,5 Ha di Desa Karang Sari, Kab Kotawaringin Timur (Kalteng) yang masuk wilayah KPHP Mentaya Tengah-Seruyan Hilir, dan 51 Ha di Kelurahan Pangkut, Kab. Kotawaringin Barat (Kalteng) yang masuk wilayah KPHP Kotawaringin Barat. Pembangunan demplot SJB tersebut melibatkan 90 petani binaan dari 12 KTH. Hingga saat ini, monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pertumbuhan tanaman pencampur sawit dan sawitnya terus dilakukan untuk mengetahui resep teknik agroforestri sawit yang paling optimal dan produktif.
Tantangan cukup berat muncul dari aspek penataan kelembagaan dan rancang bangun kebijakan jangka benah. Pada awalnya, penataan kelembagaan dan rancang bangun kebijakan SJB adalah menginduk pada program Perhutanan Sosial (PS). Pada skema PS terbuka peluang bagi petani sawit rakyat yang “terlanjur” mengakses kawasan hutan untuk mendapatkan hak kelola melalui skema PS sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri LHK No.83/2016. Namun demikian, pada peraturan tersebut terdapat klausul yang menyulitkan dalam implementasi SJB, yaitu adanya batasan bahwa tanaman sawit hanya diperbolehkan selama 12 tahun sejak masa tanam (pasal 65(h)). Selama melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, klausul pada pasal inilah yang selalu menjadi polemik karena sulit dan hampir mustahil diterapkan, terutama oleh pemangku kawasan (KPH). Situasi ini berpotensi menimbulkan konflik baru, karena petani (seluruhnya yang kami jumpai) keberatan apabila sawitnya dibongkar saat puncak produktifitas sawit (antara usia tanaman 12-17 tahun). Sementara itu, pada konsep SJB yang kami dikembangkan, pembatasan usia sawit menjadi tidak penting karena ketika kebun campur telah terbentuk, sawit bersama dengan jenis tanaman lain akan menjadi satu kesatuan lanskap agroekosistem kebun campur yang kompleks. Sawit akan menjadi komponen agroekosistem yang sangat penting untuk menopang pendapatan petani selama menunggu komoditas tanaman pengkaya lainnya berproduksi.
Mengingat sangat pentingnya merevisi beberapa pasal dalam P.83/2016 supaya konsep SJB dapat diimplementasikan di tingkat tapak secara optimal, maka tim SJB bersama dengan tim SPOSI cukup intensif melakukan berbagai dialog kebijakan. Dialog ini terutama dilakukan dengan Ditjen PSKL, KLHK dan Kemenko Ekuin bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis. Harus kami akui perjuangan tim SPOSI yang dikawal oleh Irfan Bakhtiar (Direktur SPOSI), Diah Suradiredja, Anton Sanjaya, dan anggota tim lainnya sangatlah luar biasa. Berbagai pertemuan dilakukan secara marathon dengan berbagai pihak sudah banyak dilakukan, bahkan kami sudah terlibat dalam penyusunan draft revisi P.83/2016. Proses panjang yang berjalan lebih dari 1,5 tahun tetapi tidak kunjung muncul keputusan untuk mengesahkan draft revisi Permen LHK tersebut.
Saat hampir putus asa dengan jalan buntu revisi P.83, perhatian tim SJB tertuju pada disahkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana salah satu semangat munculnya UU baru ini adalah untuk mengurai persoalan berbagai peraturan yang ada (termasuk pada sektor kehutanan) yang tumpang tindih atau sulit diimplementasikan di lapangan. Dari telaah kami, peluang untuk memasukkan jangka benah sebagai solusi persoalan kebun sawit rakyat di kawasan hutan menjadi terbuka kembali.
Sejak UU 11/2020 berlaku yang dilengkapi dengan keterangan bahwa Peraturan Pelaksana Undang Undang harus ditetapkan paling lambat 3 (bulan) sejak disahkan, maka tim SPOSI, Javlec, dan tim SJB Fakultas Kehutanan UGM berinisiatif untuk menyusun rumusan kertas kebijakan (policy brief) mengenai solusi-solusi persoalan sawit rakyat termasuk tawaran konsep SJB. Kertas kebijakan tersebut telah diperjuangan, dipresentasikan dan diajukan pada berbagai forum diskusi oleh Irfan Bakhtiar dan kawan-kawan tanpa kenal lelah. Antara lain pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR, diskusi terbatas dengan tim Serap Aspirasi, hingga diskusi-diskusi kecil dengan Kemenko dan berbagai kementerian terkait. Akhirnya, perjuangan panjang tersebut berujung pada keberhasilan dengan masuknya konsep Jangka Benah pada dua Peraturan Pelaksana UU 11/2021, yaitu PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan PP No. 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan.
Arah Strategi Jangka Benah
SJB yang awalnya ditujukan sebagai solusi persoalan keterlanjuran keberadaaan kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan dengan menginduk program Perhutanan Sosial, ternyata paska pengesahan PP 23/2021 dan PP 24/2021 “dipaksa” harus merubah arah dan tujuan. SJB bukan hanya ditujukan untuk sawit rakyat, tetapi juga ditujukan untuk korporasi yang kegiatan usaha perkebunan kelapa sawitnya tumpang tindih dengan perizinan di bidang kehutanan di kawasan hutan produksi (PP 24/2021 pasal 27 ayat 4(a). Jangka Benah juga wajib diterapkan pada kawasan hutan konservasi yang mengalami persoalan serupa (PP 23/2021 pasal 82 ayat 2). Sebagai penegas bahwa konsep Jangka Benah merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial (PS), pada PP 23/2021 pasal 213 disebutkan bahwa pemilik kebun rakyat yang berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi dapat mengajukan izin Perhutanan Sosial dengan wajib melakukan Jangka Benah.
Tentu kami berbangga dengan adanya perluasan jangkauan intervensi Jangka Benah tersebut, namun hal ini juga membawa tanggung jawab yang jauh lebih besar. Dari segi luasan, Jangka Benah akan bekerja tidak lagi pada (hanya) 700 ribu-an hektar kebun sawit rakyat di kawasan hutan saja, tetapi menjadi sekitar 3,4 juta ha di seluruh wilayah Indonesia, termasuk sawit yang dikelola oleh korporasi. Selain itu, tingginya variasi pada berbagai tipologi kebun sawit di kawasan hutan (baik oleh rakyat atau korporasi) menyebabkan konsep Jangka Benah perlu direvitalisasi kembali supaya lebih aplikatif di tingkat tapak. Pola pertanaman dan pemilihan jenis pengkaya pada kebun sawit perlu dikembangkan supaya bisa adaptif dengan berbagai tipologi biofisik lahan yang ada. Misalnya pada lahan gambut atau lahan mineral serta pada kawasan hutan konservasi atau hutan produksi. Dari segi kelembagaannya pun perlu ditata kembali, karena pelaksana Jangka Benah di areal izin PS tentu saja berbeda dengan korporasi, skema kemitraan konservasi pun memiliki tata cara yang berbeda dalam menjalankan jangka benah di dalam hutan konservasi.
Saat ini, PP 23/2021 dan PP 24/2021 sudah efektif berjalan. Tidak ada pilihan lain selain mempersiapkan segala peraturan pelaksana pada tingkat kementerian terkait supaya implementasi dari kedua PP tersebut dapat berjalan efektif. Untuk Jangka Benah, kami mendorong KLHK untuk segera berinisiatif menyusun peraturan pelaksana tentang Jangka Benah supaya para pihak terkait khususnya yang di tingkat tapak dapat segera memahami apa dan bagaimana jangka benah diterapkan. Kami tim SJB Fakultas Kehutanan UGM dengan dukungan SPOSI (Yayasan KEHATI) akan selalu memberikan dukungan dengan berbagai produksi pengetahuan tentang Jangka Benah. Semoga dengan niat dan usaha yang baik, kawasan hutan yang “terlanjur” rusak akibat pemanfaatan lain (khususnya oleh kebun kelapa sawit monokultur) dapat kembali pulih fungsi ekologisnya, dengan tetap memberikan kemanfaatan sosial dan ekonomi bagi para pemangku kepentingan.
Sekian.
Tim Strategi Jangka Benah terdiri dari: Dr. Hero Marhaento (ketua tim), Dr. Budiadi, Dr. Muhammad Ali Imron, Dr. Ari Susanti, Dr. Dwiko Budi Permadi, Slamet Riyanto, M.Si., Fiqri Ardyansah, M.Sc. Siti Maemunah, M.P. (Instiper), dan Dr. Bambang Irawan (Universitas Jambi).